Budi, Sang Penakluk “Helikopter” dari Kali Samping Terminal Kampung Rambutan

AKURAT News - Di balik bisingnya mesin bus dan riuhnya lalu lalang terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, ada sosok yang menjalani hidupnya dengan cara tak biasa. Namanya Budi Lasim.

Tak banyak orang tahu, pria bersahaja ini adalah pemburu ikan sapu-sapu—ikan keras kepala, berkulit baja, yang oleh sebagian orang dianggap hama. Tapi di tangan Budi, ikan itu berubah jadi berkah.

Setiap hari, sejak matahari belum sepenuhnya muncul dari peraduannya, Budi sudah menyusuri aliran kali kotor di samping terminal.

Bau anyir, genangan hitam pekat, bahkan lengket lumpur tak mengusik niatnya.

"Mau makan apa kalau nggak begini?" katanya sambil tertawa, menyeka keringat dengan tangan berlumur lumpur.

Sekilas, ikan sapu-sapu memang tampak seperti pesawat mini tak bersayap—berbentuk aneh, keras, penuh duri, dan hidup di tempat-tempat tak disangka.

Tapi justru dari keanehan itulah, Budi melihat peluang besar.

Bayangkan, dari 45–60 kilogram tangkapan kasar ikan sapu-sapu, Budi bisa menyayat dan mengumpulkan 5–7 kilogram daging bersih setiap harinya. Daging itu ia jual seharga Rp 18.000 per kilogram, bukan ke pasar biasa, tapi ke para pelaku usaha kuliner seperti tukang siomay, pedagang dimsum, hingga produsen makanan olahan.

Kenapa mereka mau membeli? Karena daging sapu-sapu bisa jadi alternatif murah dibandingkan ikan tenggiri atau gabus yang harganya selangit. Dan Budi? Ia tak lagi kesulitan menjual hasil buruannya. Kini, dengan bantuan marketplace dan sambungan telepon sederhana, para pembeli sendiri yang datang ke basecamp-nya di tepi kali.

"Hari ini saja sudah ada yang ambil lima kilo," ujarnya sambil menimbang kantong plastik berisi daging ikan yang putih kekuningan. Daging bersih, hasil dari ketekunan menyayat satu demi satu tubuh keras ikan sapu-sapu yang sebelumnya berenang bebas di air limbah.

Sambil duduk di atas tumpukan ember dan jaring bekas, Budi tersenyum. Tak semua orang sanggup mencium bau busuk setiap hari, apalagi menyelam di dalamnya untuk menjemput rezeki. Tapi Budi melakukannya—bukan karena terpaksa, tapi karena dia tahu, di balik kerasnya kulit ikan sapu-sapu, ada sesuatu yang lebih berharga: kehidupan.

Satu per satu pelanggan datang. Ada yang lewat pesan WhatsApp, ada pula yang langsung menuju ke basecamp. Mereka tidak hanya datang untuk daging, tapi juga karena percaya pada ketekunan seorang Budi.

“Rezeki itu nggak pernah salah alamat,” katanya lirih, sembari kembali mengayuh jaring ke tengah kali. Dan siapa sangka, di balik derasnya arus dan gelapnya air, rezeki itu terus mengalir—sedikit demi sedikit, setia menunggu sang penakluknya.

Itulah Budi Lasim. Penakluk ikan helikopter, pengubah limbah menjadi ladang nafkah. Dari kali yang kotor dan bau, ia memetik harapan. Dan harapan itu, kini, bukan lagi milik impian. Ia nyata. Bernama Budi. Dan ia terus berenang—bersama arus rezekinya sendiri. ***

Penulis: Kemal Maulana
Editor:Redaksi

Baca Juga