Percepatan Kota Global di Tengah Ketidakpastian IKN dan Sinyal Pramono Anung
AKURAT News - Di waduk Kampung Rambutan, aroma tanah basah menguar dari tumpukan sedimen yang baru diangkat. Truk-truk milik Dinas Sumber Daya Air (SDA) berjejer menunggu giliran membawa lumpur ke lokasi pembuangan.
Di antara suara mesin yang meraung dan air yang beriak, terlihat para pekerja berseragam oranye menambal dasar waduk, berkeringat di bawah terik Oktober.
Pemandangan serupa muncul di penjuru lain: pengerukan sungai, pembenahan drainase, dan revitalisasi waduk Giri Kencana di Cilangkap.
Jakarta tampak bergegas seakan tahu bahwa waktu tak banyak tersisa untuk menata dirinya di panggung dunia.
Dari pusat kota hingga pinggiran timur, proyek besar terus dikebut. Di atas kertas, hasilnya mulai terasa.
Jakarta naik tiga peringkat dalam Global Cities Index 2025 versi lembaga internasional Kearney, kini bertengger di posisi ke-71 dunia dari 158 kota.
“Kita naik tiga peringkat berkat perencanaan matang, eksekusi cepat, dan evaluasi berbasis data. Ini buah kerja keras bersama warga,” ujar Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dalam siaran pers, Rabu (22/10).
Bagi Pramono, capaian itu adalah hasil dari kerja teknokratik dan kolaborasi sosial—dua istilah yang kini menjadi mantra baru Balai Kota.
Namun di balik keberhasilan itu, ada ironi: laju pembangunan yang cepat belum tentu menjangkau mereka yang hidup di tepian.
Laporan Kearney mencatat kenaikan tajam dalam aktivitas bisnis Jakarta, terutama di sektor transportasi publik yang kini melayani 91–92 persen wilayah kota.
Kawasan di sekitar MRT dan LRT tumbuh sebagai simpul baru ekonomi regional.
Sementara itu, indeks human capital naik dua tingkat, berkat program pelatihan vokasi dan peningkatan akses tenaga kerja.
Namun, di tiga indikator lain information exchange, cultural experience, dan political engagement—Jakarta masih tertinggal.
“Dalam lima sampai tujuh bulan, kita capai ini karena siklus perencanaan implementasi evaluasi yang solid,” ujar Pramono.
Sistem monitoring transportasi berbasis real time kini menjadi andalan Pemprov DKI, seolah membuktikan bahwa efisiensi adalah wajah baru birokrasi Jakarta.
Tapi Kearney memberi catatan keras: masa depan Jakarta bergantung pada energi terbarukan, resiliensi kota, dan talenta siap-AI—tiga pondasi yang belum sepenuhnya kokoh.
Percepatan pembangunan bukan sekadar angka. Kawasan Kota Tua kini tengah diproyeksikan sebagai Transit Oriented Development (TOD) sekaligus kampus baru Institut Kesenian Jakarta (IKJ) simbol bahwa kota ini ingin kembali pada akar sejarahnya sebagai pusat melting pot dan perdagangan dunia.
Tagline baru pun muncul: “Jakarta Kota Cinema,” sebuah langkah ekonomi sekaligus kultural yang diharapkan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kreatif.
Tak jauh dari sana, sekitar 300 kolong tol direncanakan akan dirancang menjadi taman publik—ruang hijau yang diharapkan menurunkan suhu kota dan memperbaiki kualitas udara. Sedangkan di Jakarta Selatan, Taman Ayodya, Taman Langsat, dan Taman Leuser disatukan menjadi Taman Bendera Pusaka, bersamaan dengan rencana pemindahan patung MHT yang digadang setara ikon Sudirman.
Tapi pertanyaan menggantung: apakah taman-taman itu akan hidup—atau hanya menjadi ornamen branding “kota global”?
Dari RS Royal ke Pipa PAM
Di Cakung, pembangunan Rumah Sakit Royal Jakarta sedang berlangsung. Fasilitas ini digadang menjadi pusat layanan kesehatan modern di timur kota, yang selama ini minim akses medis.
Sementara di bawah aspal jalan raya, jaringan pipanisasi PAM merayap senyap, menembus wilayah padat, mengantarkan janji air bersih bagi jutaan penduduk.
“Pembangunan harus menyentuh warga bantaran sungai dan kawasan miskin kota,” ujar Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik saat berbincang-bincang dengan akurat belum lama ini.
Menurutnya, label “kota global” tak boleh hanya berhenti pada pencitraan atau angka survei.
“Yang harus dilakukan adalah memanusiakan manusia—mereka yang tinggal di bantaran kali dan pemukiman kumuh atau prioritas tata ruang,” terang Trubus.
Trubus menilai gaya kepemimpinan Pramono yang teknokratik dan hati-hati lebih mencerminkan posisi politiknya yang tengah menyeimbangkan kekuatan di Balai Kota dan nasional bukan seperti Ahok yang konfrontatif.
“PDI-P sendirian di parlemen, dan 40 koma sekian persen warga bukan pemilihnya hati-hati dan takut dimusuhi. Jadi Pramono memilih jalan tengah—meski sering kali jalan tengah itu tak sampai ke dasar persoalan.” kata dia.
Ketika ditanya apakah gerak cepat Pramono juga terkait dengan janjinya yang hanya ingin menjabat sebagai Gubernur Jakarta dalam 1 periode, bagi Trubus itu hal tentatif, namun jelas ia membaca percepatan pembangunan Jakarta sebagai sinyal politik tandingan terhadap Ibu Kota Nusantara (IKN)—sebuah pesan bahwa Jakarta belum mau dilupakan atau bentuk klaim eksistensi.
“Kalau Jakarta tetap naik di survei global, itu sekaligus menegaskan bahwa kota ini masih layak jadi simbol modernitas Indonesia.” tambahnya.
Lagi Trubus mengingatkan, agar percepatan ini juga menyasar pada penataan ruang, penciptaan lapangan kerja, hunian layak maupun perbaikan pemukiman kumuh dari pada proyek yang hanya membuang anggaran atau general. Namun sekali lagi, dia melihat jika capaian ini bukan hanya kebetulan atau lantaran Pram yang hanya ingin jadi gubernur 1 periode. Tapi menandakan jika IKN dan UUD DKJ masih bisa berubah di masa yang akan datang.
Dan faktanya, percepatan pembangunan sebagai pondasi transformasi Jakarta menuju kota global memang telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta Tahun 2025–2029, terungkap pada saat sidang paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Dokumen itu mendeskripsikan Jakarta sebagai kota global yang maju, berdaya saing, dan berkelanjutan dalam 20 tahun ke depan—mimpi besar sekaligus komitmen untuk kontribusi pada visi Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, ditemui terpisah pengamat geopolitik Amir Hamzah menambahkan nada peringatan. Ia berharap Bang Anung tidak terjebak dengan “Istilah ‘kota global.
Menurutnya frasa itu bisa menjadi jebakan, jika tidak hati-hati. Di mana Jakarta justru terperangkap globalisasi kemacetan, pengemis serta ketimpangan.
Bagi Amir, kata “global” harus dimaknai sebagai kedaulatan kota, bukan sekadar reputasi. Ia berharap,
“Jangan sampai frasa ‘kota global’ hanya menguntungkan pihak asing. Tantangannya bukan pada dunia, tapi pada kemampuan kita menjawab tantangan kota global itu.” paparnya.
Sementara itu, berdasarkan catatan redaksi, saat ini Gubernur Pramono Anung memang bak seorang Yudhistira di tengah perang Baratayudha, penuh kehati-hatian dan menjadi penyeimbang. Bahwa sejak awal dicanangkan pondasi kota global ia melibatkan banyak stakeholder dan pemangku wilayah dan peran ulama.
Ada satu peristiwa yang luput dari sorotan politik, tapi penting bagi arah moral kota ini. Pada Juni 2025, Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta meluncurkan buku Fikih Kota Global di Hotel Mercure, Ancol. Buku itu bukan fatwa, melainkan refleksi: bagaimana nilai, etika, dan kearifan bisa menuntun pembangunan di tengah arus investasi dan ambisi global.
Bagi redaksi, peluncuran buku itu adalah tanda bahwa Jakarta mulai merenungi dirinya sendiri. Bahwa di balik beton, ada perbincangan tentang arah; di balik proyek, ada pencarian tentang makna.
Jakarta boleh berlari cepat, tetapi kota ini baru akan benar-benar besar bila langkahnya seirama dengan nurani warganya. ****