Aliansi Jurnalis Independen: Kebebasan Pers adalah bagian dari Hak Asasi Manusia
Aliansi Jurnalis Independen: Kebebasan Pers adalah bagian dari Hak Asasi Manusia

Akurat news –Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menegaskan bahwa kebebasan pers merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia dan fondasi utama demokrasi. Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyampaikan bahwa jurnalisme memiliki peran strategis sebagai penjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah, sehingga ruang kebebasan bagi jurnalis perlu dijaga oleh seluruh pihak, khususnya aparat negara.
Menurut Bayu, kebebasan pers bukan hanya hak jurnalis, tetapi juga hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan berimbang. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UU Pers yang menyatakan bahwa pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Ia menegaskan bahwa jika jurnalis terhambat dalam menjalankan tugasnya, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat karena kehilangan akses informasi publik.
AJI menyoroti sejumlah kasus yang memperlihatkan tantangan terhadap kebebasan pers, termasuk pencabutan kartu identitas peliputan Istana terhadap jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, setelah mengajukan pertanyaan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Bayu, tindakan itu bisa menimbulkan kesan pembatasan kerja jurnalistik, padahal Pasal 4 ayat (2) UU Pers menegaskan bahwa pers tidak boleh dikenakan penyensoran atau pembredelan.
Selain itu, masih banyak jurnalis yang menghadapi risiko di lapangan. Contohnya, jurnalis Antara, Bayu Pratama, mengalami kontak fisik saat meliput unjuk rasa di DPR pada Agustus 2025; jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mendapat tekanan verbal setelah wawancara dengan Panglima TNI; serta kantor Tempo yang menerima teror berupa benda mencurigakan kepada salah satu wartawannya. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis sebagaimana diatur Pasal 8 UU Pers belum sepenuhnya dijalankan.
Bayu menegaskan perlunya reformasi Polri untuk benar-benar berpihak pada prinsip demokrasi, termasuk dalam melindungi kerja jurnalis. Ia menilai reformasi tidak cukup hanya pada level struktur dan birokrasi, tetapi juga pada budaya kerja aparat. Polri dituntut meningkatkan sensitivitas dan pemahaman mengenai batasan serta perlindungan hukum terhadap kerja jurnalistik.
“Reformasi Polri harus menghadirkan aparat yang profesional, mengerti peran jurnalis, dan menghormati UU Pers. Jangan sampai ada lagi jurnalis yang terhambat hanya karena menjalankan tugas mencari informasi,” tegas Bayu. Ia mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Pers memberikan sanksi pidana bagi siapa pun yang sengaja menghambat kerja jurnalistik.
Sebagai bentuk konkret, AJI mendorong agar Polri menyusun SOP pengamanan yang ramah jurnalis, pelatihan rutin tentang kebebasan pers bagi aparat, serta saluran pengaduan yang jelas dan transparan untuk menangani kasus kekerasan terhadap wartawan. Menurutnya, mekanisme ini penting untuk memastikan adanya akuntabilitas dan rasa keadilan, sekaligus mendukung transformasi Polri ke arah institusi yang demokratis.
AJI mengajak seluruh pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, salah satunya dengan menciptakan ekosistem yang kondusif bagi jurnalis untuk bekerja secara bebas dan bertanggung jawab. Menjaga kebebasan pers bukan hanya soal melindungi profesi wartawan, tetapi juga tentang menjamin hak masyarakat atas informasi yang jujur dan tidak berpihak.
Komentar